Dalam beberapa dekade terakhir, jamu sering kali dipandang sebagai warisan budaya yang bersifat tradisional dan hanya digunakan secara turun-temurun. Namun, kini paradigma itu mulai bergeser. Deputi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menegaskan bahwa jamu kini dilihat lebih serius dan strategis sebagai bagian dari sistem kesehatan modern Indonesia. Hal ini sejalan dengan berkembangnya kebijakan nasional yang mengintegrasikan pengobatan tradisional ke dalam layanan kesehatan formal.
Salah satu bukti nyata dari pengakuan negara terhadap potensi jamu adalah munculnya regulasi baru, seperti Undang-Undang Kesehatan Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. Kedua regulasi ini menjadi landasan hukum yang kuat untuk mengakui dan memanfaatkan jamu secara ilmiah dan terstandarisasi. Bahkan, jalan menuju pengintegrasian jamu ke dalam Formularium Nasional (Fornas) yang digunakan oleh BPJS Kesehatan kini mulai terbuka lebar.

Jamu dan Legitimasi Kesehatan Modern
Selama bertahun-tahun, jamu kerap dianggap sebagai alternatif non-medis. Padahal, banyak bahan dasar dalam jamu seperti temulawak, kunyit, jahe, dan meniran memiliki efek farmakologis yang telah diteliti oleh akademisi dan praktisi kesehatan. Dengan dukungan regulasi dan riset ilmiah yang terus dikembangkan, jamu kini masuk dalam ranah evidence-based medicine atau pengobatan berbasis bukti.
Hal ini juga menjadi bagian dari strategi pemerintah untuk memperkuat kemandirian kesehatan nasional, di mana bahan baku lokal seperti tanaman herbal dapat mengurangi ketergantungan pada obat-obatan impor. Selain itu, pemanfaatan jamu secara resmi juga membuka peluang besar dalam sektor industri kesehatan berbasis herbal, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal, khususnya petani dan pelaku UMKM jamu.
Baca Juga : Strategi Nutrisi dan Pemeriksaan Gratis: Upaya Pemerintah Tingkatkan Kesehatan Masyarakat
Regulasi yang Mendukung Peran Jamu
UU Kesehatan 2023 menempatkan pengobatan tradisional, termasuk jamu, dalam posisi yang lebih terstruktur dan sistematis. UU ini mengamanatkan adanya pembinaan, penelitian, dan pemanfaatan sumber daya lokal untuk pengobatan. Sementara itu, PP 28/2024 lebih jauh merinci aspek pengintegrasian jamu ke dalam pelayanan kesehatan nasional, termasuk kemungkinan pembiayaan melalui BPJS Kesehatan.
Masuknya jamu ke dalam Formularium Nasional (Fornas) akan memungkinkan dokter dan fasilitas kesehatan merekomendasikan jamu tertentu sebagai bagian dari terapi. Ini adalah lompatan besar dalam sistem pelayanan kesehatan Indonesia, yang selama ini lebih berorientasi pada pengobatan konvensional.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Tentu saja, integrasi jamu ke dalam sistem kesehatan nasional bukan tanpa tantangan. Dibutuhkan standarisasi mutu, dosis, keamanan, dan efektivitas agar jamu dapat diterima secara medis. Pemerintah, akademisi, dan pelaku industri harus berkolaborasi dalam melakukan uji klinis, sertifikasi, serta edukasi kepada masyarakat dan tenaga medis.
Namun dengan semangat dan dukungan kebijakan yang semakin kuat, prospek jamu sebagai simbol kesehatan masa depan Indonesia sangat cerah. Tidak hanya menjadi warisan leluhur, jamu kini berkembang menjadi solusi kesehatan yang diakui secara ilmiah dan diterima dalam sistem pelayanan publik.
Transformasi jamu dari sekadar minuman tradisional menjadi bagian dari sistem medis modern adalah wujud nyata dari sinergi antara warisan budaya dan ilmu pengetahuan. Dengan fondasi hukum yang kuat dan keseriusan dari berbagai pihak, jamu bukan lagi sekadar pilihan alternatif, tetapi bisa menjadi pilar utama dalam sistem kesehatan nasional.